(Yogyakarta, 2025) Perayaan Idul Fitri (lebaran) identik dengan melimpahnya makanan sebagai simbol kebersamaan dan syukur. Namun, fenomena ini juga memunculkan permasalahan terkait peningkatan yang cenderung signifikan dalam produksi food waste atau sampah makanan. Sampah makanan yang menumpuk dan tidak dikelola dengan baik dapat berdampak pada pencemaran lingkungan, yang berpengaruh negatif secara ekologis. Pada Idul Fitri 2025, diperkirakan terjadi peningkatan timbulan sampah, termasuk sampah makanan (food waste), akibat mudik dan liburan. Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan sekitar 73,24 ribu ton sampah dihasilkan selama periode ini.
Food Waste yang menumpuk tidak terhindarkan karena adanya perilaku konsumtif dan overproduksi selama periode lebaran. Hal ini diperparah dengan kesadaran yang rendah sehingga produksi makanan yang cepat basi tidak sesuai dengan daya serap konsumsi yang ada. Kondisi ini terjadi secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Setiap rumah tangga akan menyediakan makanan sebagai sajian tamu dan tidak sejalan dengan laju konsumsi yang ada. Berdasarkan informasi yang disajikan dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional - SIPSN (2020), komposisi sampah terbesar berdasarkan jenisnya adalah sampah makanan (sekitar 40 persen), sedangkan berdasarkan sumbernya didominasi oleh rumah tangga.
Food waste memiliki dampak negatif pada lingkungan, salah satunya mampu menghasilkan jejak karbon yang tinggi. Merujuk pada data Sustainable Development Indonesia - (SDI) selama 20 tahun terakhir, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari food waste di Indonesia mencapai 1.702,9 megaton CO2 ekuivalen (CO2eq), yang setara dengan sekitar 7,29% dari total emisi gas rumah kaca tahunan di negara ini. Makanan yang terbuang dan tertimbun dapat menghasilkan proses pembusukan yang memicu terciptanya gas metana (CH4). Gas metana yang dilepaskan memiliki potensi pemanasan global 20 hingga 40 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO2). Kondisi ini memperburuk pemanasan global yang berdampak pada fenomena climate change yang tidak dapat dikontrol dan diprediksi. Akibatnya terjadi kerugian dalam beberapa sektor seperti pertanian, infrastruktur, dan lingkungan.
Lebaran layaknya disambut dengan suka cita, bukan dengan beban masalah yang merugikan lingkungan dan sosial masyarakat dalam jangka panjang. Solusi yang berkelanjutan diperlukan untuk upaya pencegahan dan edukasi yang lebih berkelanjutan. Perencanaan konsumsi merupakan langkah awal yang harus dilakukan dengan membatasi perilaku impulsif dengan pembiasan konsumsi secukupnya. Setelah perencanaan dilakukan, maka diperlukan adopsi teknologi seperti penggunaan pendingin makanan dan upaya yang mampu memperpanjang usia makanan sehingga daya simpan meningkat dan makanan tidak menjadi food waste. Sebagai langkah akhir adalah melakukan edukasi dan penyebaran informasi terkait penyebab, dampak, serta solusi dari adanya food waste.
Lebaran seharusnya menjadi momen refleksi dan berbagi, bukan agenda pemborosan dan kontribusi negatif pada lingkungan. Melalui adopsi pola konsumsi yang bijak dan berkelanjutan, masyarakat mampu merayakan hari kemenangan dengan penuh makna tanpa memberi beban pada lingkungan. Mengurangi food waste adalah bentuk ibadah yang tak kalah penting dalam menjaga bumi dan mewujudkan keadilan pangan serta kelestarian lingkungan.
Oleh: Dani Abyan Adam